Bandung dan Kemiskinannya

Bandung dengan segala kegemerlapannya, Bandung dengan menyimpan sejuta cerita tentang tumbuh pesatnya industry jasa di bumi Jawa Barat tanpa dipungkiri telah banyak mendorong terserapnya tenaga kerja yang berimbas pada pelipatan pendapatan asli daerah kota Bandung lebih besar dari seluruh kota besar yang ada di provinsi Jawa Barat.  Sejumlah kawasan penting bagi anak muda pun ikut menyumbang pada Pendapatan Domestik Regional Bruto seperti Dago Pakar, Setia Budi, Cihampelas, hingga kawasan yang kental nuansa religius nya seperti Geger Kalong Girang. Tercatat dalam PDRB yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bahwa pendapatan domestik regional bruto pada tahun 2007  berdasarkan harga berlaku untuk kota Bandung sebesar Rp 50.552.180 terbesar pertama di kota di Jawa Barat yang kemudian diikuti oleh Kota Bekasi sebesar Rp 25. 419.184, atau sebesar 10,30 % sementara itu jika merujuk pendapatan asli daerah kota Bandung, dalam data yang dikeluarkan resmi oleh pemprov Jawa Barat pada tahun 2010 tercatat sebesar Rp 313.356.408. dengan dua indikator tadi kita bisa membedakan makna dari keduanya. PDRB jelas mempunyai cakupan ekonomi yang lebih luas dengan pos-pos yang menjadi sumber pemasukan yang menggerakan roda perekonomian daerah. Sementara PAD, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah hanya menjelaskan kepada kita sumber pemasukan regional yang bersumber dari pajak mulai dari pajak provinsi hingga pajak reklame. Melihat pesatnya pertumbuhan industry jasa dan komersil di Kota Bandung maka memang wajar jika PDRB berbanding lurus dengan meningkatnya PAD

                                                                                        

Tapi permasalahannya, apakah PDRB juga mencakup pemerataan kesejahteraan dan memberikan model yang sesuai tentang kelayakan hidup warga kota Bandung. Sebagaimana teori ekonomi mengenai pertumbuhan, merupakan sebuah debat klasik dalam ilmu ekonomi antara pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bahkan pertumbuhan dengan pemerataan. Namun seolah telah menjadi konsensus para ekonom bahwa GDP memiliki problem dengan distribusi kekayaan dalam sebuah negara sehingga tidak bisa dijadikan satu-satu nya indikator kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Jika menggunakan perspektif konvensional, ukuran atau indikator itu bisa menggunakan apa saja sebagaimana dalam teori ekonominya Keynessian, bahwa besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang seberapa efisien sumber daya dalam perekonomian, besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang produktivitas dan tingkat kemakmuran rakyat dalam sebuah negara, maka, hasilnya secara konkret bisa kita perjelas bahwa seolah-olah teori ekonomi Barat ingin mengatakan semakin banyak anak muda hingga pekerja kantoran yang memegang gadget update bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu sedang membaik karena daya beli sudah meningkat. Nah demikian juga dengan konteks ekonomi regional, semakin banyak mobil berplat B masuk kota Bandung dapat dipastikan telah terjadi transfer modal dan distribusi kekayaan dari pusat ke regional secara massiv dan mendorong tumbuhnya home dan creative industry di Kota Bandung. Itu jika menggunakan tools ekonomi konvensional melihat permasalahan ekonomi regional.

 

 

                                                                                 

 

 

 

 

Namun ternyata secara realitas dan empiris yang terjadi tidak hanya transfer modal dan kekayaan saja yang membuat Bandung pada tahun-tahun ini sedemikian gemerlap dan menjadi one of main destination tidak hanya pelancing domestik tetapi juga pelancong internasional seperti dari Malaysia yang banyak menjadikan Bandung sebagai tujuan wisata kedua setelah New York. Yang terjadi juga soal permasalahan akut mulai dari kemiskinan, anak jalanan, kesenjangan sosial hingga tingkat kualitas hidup warga Bandung. Tercatat sejumlah indikator penting yang akan menjelaskan kepada kita bahwa besaran volume industry jasa dan komersil yang tercatat dalam PDRB belum banyak menjelaskapan apa-apa tentang penyakit yang menjadi ekses atau inherent dari permasalahan ekonomi regional.

                                                                                

Berdasarkan Jawa Barat Dalam Data 2010, jumlah penduduk miskin di kota Bandung dan prosentasenya sebesar 106,8 jiwa atau sebesar 4,42 % kemudian jumlah anak jalanan di kota Bandung tercatat sebanyak 1.879, kemudian di sisi lingkunga, pesatnya pertumbuhan kota Bandung sebagai sebuah pusat industri jasa dan komersil ternyata juga membawa ekses yang tak kalah ironis dan menyakitkan yaitu timbunan sampah. Per hari terdapat sebesar  2.539.342 liter sampah menumpuk di sejumlah pojok kota Bandung belum ditambah timbunan sampah yang sudah diangkat ke TPA dan timbunan sampah kota. Efek lainnya, seorang blogger pernah menulis sebuah artikel yang menyindir salah arahnya pembangunan kota Bandung, alih-alih pemerintah kota Bandung membuka gerbang pariwisata lebar-lebar baik yang berasal dari domestik atau mancanegara tetapi melupakan hak-hak warga kota Bandung itu sendiri untuk bisa menikmati dengan leluasa kotanya. Akhirnya setiap akhir pekan walau hanya untuk menikmati taman kota atau ke lembang, warga Bandung harus menghadapi kemacetan luar biasa di sejumlah pojok kota Bandung. Tak pelak sang blogger memberi judul pada tulisannya “Bandung Punya Siapa ?? “

 

Perspektif Ekonomi Pembangunan

 

Dalam teori ekonomi pembangunan, ada yang disebut sebagai Teori Dependensia, sebuah teori yang menjelaskan kepada kita bagaimana proses ketergantungan permanen yang selama ini dihadapi oleh negara-negara berkembang tidak lain diakibatkan kehadiiran pusat industry dan pompa kekayaan yang berpusat di negara-negara maju. Keberadaan negara-negara maju itu akan selalu menghegemoni dan menekan dari sisi ekonomi, politik dan militer. Menurut Andre Gunder Frank, ekonom sosialis Amerika Serikat dalam (Damanhuri, 2010)  Teori Dependensia menjelaskan bahwa asimetri hubungan ketergantungan yang sifatnya asimetris ditunjukkan oleh hubungan antara pihak-pihak yang tidak seimbang, hal ini, masih menurut teori dependensia, karena pembangunan-pembangunan daerah pinggiran, tergantung pada pembangunan metropolis, pada poin ini kita bisa memahami bahwa transfer kekayaan dan modal yang begitu besar dari Jakarta sebagai pusat ibukota Indonesia ke Bandung sebagai ibukota Bandung menyebabkan ketergantungan pembangunan ekonomi regional terhadap Jakarta sehingga imbasnya tidak pelak menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial terutama bagi warga Bandung yang ingin merasakan Bandung seperti tempo doeloe yang sejuk dan tenang. Bukan Bandung yang padat dan semakin menambah daftar permasalahan sosial yang lahir akibat salah arahnya perencanaan pembangunan kota Bandung.

 

 

Teori dependensia juga melahirkan konsekuensi lain, secara ekonomi, bagi kalangan fundamentalis pasar, teori dependensia merupakan reaksi dari pertumbuhan ekonomi. Semakin besar tingkat pendapatan domestik maka akan menambah pendapatan pemilik produksi yang akhirnya memperbaiki daya beli dan membuat pasar kelas menengah semakin bergairah. Namun seperti yang saya ungkapkan di atas,  lebih banyak lagi indikator yang tidak secara dangkal dalam mendefinisikan kesejahteraan masyarakat. Sebab, pada akhirnya, indikator kue kesejahteraan bisa menggunakan variable manapun tetapi apakah itu semua sudah representatif ? atau dalam memberikan jawaban terhadap persoalan kemiskinan akhirnya menjadikan sebagai faktor nasib atau efek dari perilaku masa lalu bukan imbas dari sistem yang melembaga dalam logika ekonomi modern dan menjadi industri bawah tanah yang beromzet jutaan rupiah dalam sebulan ?

 

Kalau jawaban nya adalah normatif sebagai faktor nasib atau efek dari perilaku masa lalu berarti benar ungkapan Tibor Scitovsky “ Kemiskinan di tengah-tengah orang kaya yang tak berbahagia tidak lain adalah symptom dari kerusakan yang mendalam “ . sebagaimana, Kota Bandung yang anggun dengan sejarah dan romantisme nya harus mengalami trade off plesiran pekanan  dengan terkikisnya nilai-nilai budaya sunda yang kental dengan moralitas dan religiusitas warga Bandung. Klasik tetapi tetap menyakitkan.

 

 

12 Muharaam 1433 H